Jumat, 08 Juni 2012

Wujudkan Generasi Emas, Tanggung Jawab Siapa?




Bangkitnya Generasi Emas Indonesia merupakan tema yang telah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini. Istilah generasi emas memang suatu istilah yang sangat luar biasa. Ibarat logam, emas merupakan logam mulia yang nilainya melebihi logam lainnya di dunia. Demikian pula generasi emas, tentu saja mempunyai nilai yang sangat tinggi pada masyarakat. Generasi emas bisa jadi merupakan generasi yang mempunyai karakter yang termaktub pada tujuan pendidikan nasional  dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Namun bagaimana cara mewujudkannya? Cukupkah hanya dengan mengandalkan jalur pendidikan formal di sekolah, mulai dari tingkat dasar (SD), menengah hingga perguruan tinggi.  Apakah juga cukup dengan melihat keberhasilan ataupun tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) mendekati bahkan mencapai 100%, lalu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa generasi emas sudah terwujud.  Tentu saja jawabannya tidak. Kalau kita simak tujuan pendidikan kita, bukanlah semata mendidik intelektual peserta didik, namun lebih dari itu, karakter religius yakni beriman dan bertakwa  serta kecakapan personal yaitu kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab juga harus ditumbuhkan pada peserta didik. Sebagai contoh, jika suatu sekolah lulus UN 100%, lalu siswanya turun ke  jalan raya, pawai mengenakan pakaian seragam yang telah dicorat-coret, tidak mengenakan helm, mengendarai sepeda motor dengan suara yang sengaja dibuat bising, dan pulang larut malam, tentu saja kelulusannya tidak ada artinya bagi masyarakat. Apalagi jika siswa  tersebut malas beribadah, terlibat tawuran,  menyimpan dan  nonton film porno serta  tindakan asusila lainnya.  Siswa tersebut dinilai tidak mempunyai karakter, dan pendidikan di sekolah tersebut bisa dikatakan gagal walaupun kelulusannya 100%.

Dewasa ini sangat marak didengungkan masalah pendidikan karakter. Pendidikan yang mampu mencetak generasi berkaraktek emas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.  Sebagaimana kita ketahui, pendidikan merupakan suatu yang sangat komplek. Peserta didik yang berkarakter tentu saja hanya dapat di wujudkan oleh masyarakat yang berkarakter, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun lingkungan pergaulannya diluar sekolah dan keluarga. Sangat mustahil jika siswa sekolah di sekolah yang berstandar baik bahkan standar internasional sekalipun, namun jika di luar sekolah, kondisi di keluarga dan masyarakat bertolak belakang dengan pendidikan karakter ataupun kebiasaan baik yang dilakukan sekolah tersebut. 
 
Usaha keluarga dan masyarakat dalam mendidik siswa tidak cukup dengan memberi nasehat  yang baik agar siswa menjadi baik dan berahlak mulia. Dalam pendidikan, nasehat haruslah diiringi dengan keteladanan. Keteladanan merupakan salah satu teknik pendidikan yang paling baik. Jika di sekolah siswa dianjurkan untuk menjaga ibadahnya, misalnya sholat lima waktu bagi yang beragama Islam, namun ketika di sekolah  rumah siswa tersebut melihat anggota keluarganya tidak mengerjakan sholat lima waktu, tentu saja ini akan meruntuhkan karakter yang dibangun di sekolah.. Kenyataan lain jika di sekolah siswa dianjurkan untuk memilih dan memilah informasi atapun tayangan yang bermanfaat bagi intelektualnya, namun di lingkungan masyarakat, pornografi merajalela ditemukan di warnet, handphone kawan-kawannya, bahkan acara televisi dan media massa lainnya, tentu saja generasi emas tidak akan terwujud.

Demikian pula disekolah, guru harus membangun karakternya, sebelum membangun karakter siswanya. Jika ingin siswnya jujur, tidak menyontek dalam ulangan atau ujian, maka gurupun harus jujur dalam mengemban tugasnya. Guru harus membangun karakter religius jika ingin siswanya memiliki keimanan dan ketakwaan. Guru harus memiliki semangat dalam melakukan pembelajaran, jika ingin siswanya semangat dalam belajar, demikian seterusnya. Hal ini sesuai dengan semangat falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang sudah sangat kita kenal yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang artinya "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan". Bahkan salah satu falsafah tersebut yakni “tut wuri handayani” menjadi semboyan pendidikan nasional kita. Sekali lagi, siswa yang berkarakter, hanya akan diwujudkan oleh kondisi masyarakat yang berkarakter pula. Karakter harus ditumbuhkan dengan kebiasaan baik yang berlangsung kontinyu. Generasi emas hanya dapat dibangkitkan dengan mewujudkan masyarakat yang berkarakter baik pula atau dalam kata lain “masyarakat emas”. Oleh karena itu, siapapun kita baik sebagai individu, anggota keluarga, dan komponen masyarakat mulailah terus membangun kebiasaan-kebiasan baik, maka generasi emas otomatis akan terwujud. Kita harapkan generasi emas sebagai hadiah ulang tahun 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045 nanti dapat terwujud sesuai dengan rencana besar pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Semoga...
 
*Penulis adalah Guru SMKN 2 Pontianak, Pengurus Persaudaraan Guru Berkarakter (Perangkat) Kalbar.