Bangkitnya
Generasi Emas Indonesia merupakan tema yang telah ditetapkan pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada peringatan Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) tahun ini. Istilah generasi emas memang suatu istilah yang
sangat luar biasa. Ibarat logam, emas merupakan logam mulia yang nilainya
melebihi logam lainnya di dunia. Demikian pula generasi emas, tentu saja
mempunyai nilai yang sangat tinggi pada masyarakat. Generasi emas bisa jadi
merupakan generasi yang mempunyai karakter yang termaktub pada tujuan
pendidikan nasional dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun bagaimana cara
mewujudkannya? Cukupkah hanya dengan mengandalkan jalur pendidikan formal di
sekolah, mulai dari tingkat dasar (SD), menengah hingga perguruan tinggi. Apakah juga cukup dengan melihat keberhasilan
ataupun tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) mendekati bahkan mencapai 100%,
lalu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa generasi emas sudah terwujud. Tentu saja jawabannya tidak. Kalau kita simak
tujuan pendidikan kita, bukanlah semata mendidik intelektual peserta didik, namun
lebih dari itu, karakter religius yakni beriman dan bertakwa serta kecakapan personal yaitu kreatif,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab juga harus ditumbuhkan pada peserta
didik. Sebagai contoh, jika suatu sekolah lulus UN 100%, lalu siswanya turun ke
jalan raya, pawai mengenakan pakaian
seragam yang telah dicorat-coret, tidak mengenakan helm, mengendarai sepeda
motor dengan suara yang sengaja dibuat bising, dan pulang larut malam, tentu
saja kelulusannya tidak ada artinya bagi masyarakat. Apalagi jika siswa
tersebut malas beribadah, terlibat tawuran, menyimpan dan
nonton film porno serta tindakan
asusila lainnya. Siswa
tersebut dinilai tidak mempunyai karakter, dan pendidikan di sekolah tersebut
bisa dikatakan gagal walaupun kelulusannya 100%.
Dewasa ini sangat marak didengungkan masalah pendidikan
karakter. Pendidikan yang mampu mencetak generasi berkaraktek emas sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana
kita ketahui, pendidikan merupakan suatu yang sangat komplek. Peserta didik
yang berkarakter tentu saja hanya dapat di wujudkan oleh masyarakat yang
berkarakter, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun lingkungan pergaulannya
diluar sekolah dan keluarga. Sangat mustahil jika siswa sekolah di sekolah yang
berstandar baik bahkan standar internasional sekalipun, namun jika di luar
sekolah, kondisi di keluarga dan masyarakat bertolak belakang dengan pendidikan
karakter ataupun kebiasaan baik yang dilakukan sekolah tersebut.
Usaha keluarga dan masyarakat dalam
mendidik siswa tidak cukup dengan memberi nasehat yang baik agar siswa menjadi baik dan berahlak
mulia. Dalam pendidikan, nasehat haruslah diiringi dengan keteladanan. Keteladanan
merupakan salah satu teknik pendidikan yang paling baik. Jika di sekolah siswa
dianjurkan untuk menjaga ibadahnya, misalnya sholat lima waktu bagi yang
beragama Islam, namun ketika di sekolah rumah siswa tersebut melihat anggota keluarganya
tidak mengerjakan sholat lima waktu, tentu saja ini akan meruntuhkan karakter
yang dibangun di sekolah.. Kenyataan lain jika di sekolah siswa dianjurkan
untuk memilih dan memilah informasi atapun tayangan yang bermanfaat bagi
intelektualnya, namun di lingkungan masyarakat, pornografi merajalela ditemukan
di warnet, handphone kawan-kawannya, bahkan acara televisi dan media massa
lainnya, tentu saja generasi emas tidak akan terwujud.
Demikian pula disekolah, guru harus membangun
karakternya, sebelum membangun karakter siswanya. Jika ingin siswnya jujur,
tidak menyontek dalam ulangan atau ujian, maka gurupun harus jujur dalam
mengemban tugasnya. Guru harus membangun karakter religius jika ingin siswanya
memiliki keimanan dan ketakwaan. Guru harus memiliki semangat dalam melakukan
pembelajaran, jika ingin siswanya semangat dalam belajar, demikian seterusnya. Hal
ini sesuai dengan semangat falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara yang sudah sangat kita kenal yakni ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang artinya "di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".
Bahkan salah satu falsafah tersebut yakni “tut wuri handayani” menjadi semboyan
pendidikan nasional kita. Sekali lagi, siswa yang berkarakter, hanya akan diwujudkan
oleh kondisi masyarakat yang berkarakter pula. Karakter harus ditumbuhkan
dengan kebiasaan baik yang berlangsung kontinyu. Generasi emas hanya dapat
dibangkitkan dengan mewujudkan masyarakat yang berkarakter baik pula atau dalam
kata lain “masyarakat emas”. Oleh karena itu, siapapun kita baik sebagai
individu, anggota keluarga, dan komponen masyarakat mulailah terus membangun
kebiasaan-kebiasan baik, maka generasi emas otomatis akan terwujud. Kita
harapkan generasi emas sebagai hadiah ulang tahun 100 tahun kemerdekaan Indonesia
pada 2045 nanti dapat terwujud sesuai dengan rencana besar
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Semoga...
*Penulis adalah Guru SMKN 2 Pontianak, Pengurus Persaudaraan Guru Berkarakter (Perangkat) Kalbar.